Jajak Pendapat
Bagaimana menurut Anda tentang tampilan website ini ?
Bagus
Cukup
Kurang
  Lihat
Agenda
05 December 2024
M
S
S
R
K
J
S
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Statistik

Total Hits : 736987
Pengunjung : 205388
Hari ini : 35
Hits hari ini : 81
Banner
jardiknaswikipedia Indonesia

SEBUTAN Guru Profesional.....???

Tanggal : 08-02-2018 09:54, dibaca 2903 kali.

“… sesungguhnya, hak mengajar itu ada di tangan siswa. Bukan di tangan Guru. Apabila siswa rela memberikan hak mengajar tersebut kepada Anda, para Guru, maka sang Guru akan diterima oleh siswa di saat proses belajar berlangsung. Guru harus 'merebut' hak mengajar.” (Munif Chatib)

Profesional secara kata memang terdiri dari 11 huruf. Tapi bila dihayati dan diterjemahkan dalam tindakan nyata, akan tercipta hasil luar biasa! Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personality.

Kata profesional bukan hanya kata baku yang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di kantoran. Bekerja di dalam ruang ber-AC, memakai kemeja, jas mahal, celana bahan bagi laki-lakinya, atau memakai blazer, rok mini, berkutat dengan orang-orang penting yang biasa disebut dengan istilah “meeting”. Tidak! kata profesional berlaku untuk setiap profesi. Termasuk guru.

Guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Bila ia tak punya keahlian menjadi guru maka tidak dapat disebut sebagai guru. Oleh karenanya tidak semua orang bisa menjadi guru. Namun, pada kenyataannya banyak ditemui bahwa pilihan profesi guru sebagai pilihan profesi terakhir. Profesi ini dirasa kurang bonafide, dekat dengan status sosial menengah ke bawah, bergaji kecil, tidak sejahtera, dan hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan ada guru yang diambil dengan asal comot. Yang penting ada yang mengajar.

Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, menyandang gelar akademik, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan “pengakuan” formal yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional, Meskipun itu sama sekali bukan jaminan seorang guru disebut professional

 Bagaimana kalau Profesi  dipahami sekedar teoritis pada 'selembar' kertas?

Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretis. Sekedar contoh, siapa pun bisa terampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretis tentang kesehatan dan penyakit manusia.

Sama halnya dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa terampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretis bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru sebagaimana diujikan dalam program sertifikasi selama ini, tampaknya masih baru tercermin dalam tataran teoretis saja, sebab dengan perolehan bukti 'selembar kertas' baik lewat portofolio maupun PLPG tidak ditindaklanjuti dengan komitmen untuk melaksanakan di lapangan. Hal ini masih banyak ditemukan guru-guru 'tersertifikasi' tidak melaksanakan tugas sebagaimana kompetensi yang diujikan.

Kompetensi pedagogic yang menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kata mengelola, tentunya dalam pikiran kita tergambar sebuah 'manajemen pembelajaran' yang di dalamnya harus ada perencanaan/desain pembelajaran, melakukan pembelajaran dan menilai pembelajaran. Mustahil kiranya kompetensi ini tercapai kalau seorang guru yang sudah mendapatkan 'sertifikat pendidik profesional' 'malas' membuat rencana pembelajaran sebelum mengajar di depan peserta didik. Padahal keberhasilan pembelajaran guru dimulai dari sebuah perencanaan yang baik karena guru sebagai aktor utama dalam skenario aktifitas  pembelajaran siswa, “berkesan dan tidaknya” aktifitas pembelajaran guru berawal dari bermutu atau tidaknya rencana pembelajaran yang dibuat guru. Meskipun kadang-kadang kondisi di lapangan berkeinginan lain akan tetapi alangkah lebih 'semrawutnya' aktifitas pembelajaran tanpa perencanaan yang jelas. Jadi kalau perencanaan saja 'tidak jelas' bagaimana mungkin pelaksanaan dan penilaian pembelajaran, tentu akan lebih tak jelas alias 'abu-abu'.

 Lain halnya ketika rencana pembelajaran itu dipakai untuk syarat kenaikan pangkat/golongan atau syarat lain untuk (pribadinya), mereka-para guru dengan semangat membara berebut lebih dulu untuk menyelesaikannya dengan dalih tertib administrasi, padahal mendahulukan hak pribadi di atas hak anak didik merupakan tindakan yang tak patut ada pada seorang guru.

 Kompetensi profesional yang menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Kata penguasaan disini mengindikasikan seorang guru benar-benar secara spesifik mendalami, memiliki dan menguasai materi yang akan diajarkan, padahal  dilapangan, hemat penulis, antara guru yang latar belakang kependidikan dan yang ilmu murni ada sedikit perbedaan untuk kompetensi ini. Suatu contoh, seorang guru berlatar belakang kependidikan, bisa jadi dia sangat menguasai di kompetensi pedagogic tetapi kurang di kompetensi profesional, arau seorang guru berlatar belakang ilmu murni, bisa jadi dia sangat menguasai kompetensi profesional tetapi kurang di kompetensi pedagogic, dan atau sebaliknya. Untuk itu agar dua kompetensi itu tercapai, tidak cukup hanya melalui program sertifikasi guru itu saja, tetapi perlu program tindak lanjut berupa pelatihan-pelatihan, workshop, menggiatkan KKG, MGMP, forum ilmiah dan lomba-lomba ilmiah guru secara rutin dan berkesinambungan. Karena penguasaan materi menentukan arah dan pola berfikir ilmiah yang akan diwariskan kepada peserta didik, jangan sampai terjadi kesalahan dalam menanamkan konsep ilmu dan sekali saja terjadi kesalahan akan mewariskan kesalahan dari generasi ke generasi berikutnya. Untuk itu penting kiranya kita selalu muthala'ah materi pelajaran sebelum kita ajarkan kepada anak didik kita.

 Kompetensi kepribadian yang menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.

Uji kompetensi ini menurut saya sangat abstrak sekali, karena kompetensi kepribadian tidak bisa dinilai sesaat, instan atau dengan lembaran soal dengan skor sekian, tetapi lebih jauh dengan pengamatan dan eksplorasi melalui aktivitas dan kebiasaan sehari-hari seorang guru. Kalau instrumen penilaian kompetensi kepribadian yang selama ini diberlakukan terus dipertahankan, maka tidak heran ketika mau ditegakkan DISIPLIN GURU masih ada di antara guru termasuk calon guru sertifikasi yang 'mbengok' merasa keberatan, berucap; tidak manusiawi, mendolimi dan sebagainya. Alangkah hebatnya seorang guru yang selalu muhasabah, berfikir positif dan terbuka menerima perubahan yang lebih baik untuk kemajuan dirinya.

 Kompetensi sosial yang menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Demikian juga instrumen uji kompetensi ini perlu dikaji ulang, karena meskipun dinyatakan guru A misalnya skornya sekian, tetapi dilapangan tidak tercermin memiliki kompetensi ini. Sehingga jangan heran kalau ada orang tua murid yang menuntut atas perlakuan seorang guru terhadap anaknya, seorang murid berani berucap 'kotor' di depan gurunya, seorang guru kurang diterima di masyarakat. Hal ini disebabkan karena kurangnya 'komunikasi' dan 'interaksi' yang harmonis baik secara  bahasa  santun, tingkah laku sopan maupun norma sosial lainnya. Untuk itu penting kiranya dilakukan juga pengamatan dan eksplorasi secara mendalam terhadap aktivitas dan kebiasaan guru sehari-hari baik di sekolah maupun di lingkungan rumah secara rutin dan berkesinambungan dengan melibatkan pihak ketiga yaitu masyarakat.

Bagaimana kalau Profesi dipahami sebagai pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri ?

Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini.

Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan (Pengawas dan Kepala Sekolah) serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi dan nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan.

Ada guru bertugas dengan sepenuh hati, ada pengawas atau tidak, ada kepala sekolah atau tidak, tuntutan pribadi atau kedinasan, ia tetap bekerja sesuai nurani keguruannya, tidak sekedar mengajar tetapi juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dan inilah guru sejati meskipun ia belum mendapatkan 'selembar' kertas SERTIFIKAT PENDIDIK.

Sistem dan pola konvensional juga  teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru kelas atau bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru kelas atau bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.

Dalam konteks otoritas profesional tersebut, kalau kita bandingkan, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, tidak bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

 Bagaimana kalau Profesi dipahami bahwa guru harus memiliki kewenangan atas peserta didik?

Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Karena guru memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para guru profesional mengakui dan diakui memiliki pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang guru profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.

 Bagaimana kalau Profesi dipahami bahwa guru harus memiliki orientasi yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi?

Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot profesi dengan mengutamakan orang lain, memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.

Seorang guru yang selalu bersusaha memperbaiki mutu proses pembelajaran, berarti mempunyai orientasi yang lebih kepada orang tua peserta didik, karena lebih mengutamakan kepentingan peserta didik untuk lebih efektif dan efesien dalam menerima pembelajaran, dan secara otomatis bobot profesi yang ditekuninya pun akan semakin meningkat seiring nilai prestisenya. Kita tahu bahwa dalam proses pembelajaran tugas guru adalah mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Bagaimana kalau seorang guru hanya sekedar mengajar? kiranya guru seperti ini memiliki 'mental buruh', berangkat, mengajar, pulang, bayaran. Alangkah menyedihkan jika kondisi guru seperti ini, segala sesuatu ujung-ujungnya 'duit', ironis lagi kalau pekerjaannya diukur dengan bayarannya berapa? Saya setuju bahwa profesi guru memang perlu diiringi adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, tetapi kalau sekedar mengajar sudah layakkah menyadang sebutan guru profesional?

Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.

Bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (dinas pendidikan) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi? Beranikah para guru mengambil-alih kembali sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan?

Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional itu sendiri.  Wassalam.

 

 

 



Pengirim : Oleh : Ahmad Mahzum (Kabid. Pendidikan Assalamah Ungaran)
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
Silahkan Isi Komentar dari tulisan artikel diatas
Nama
E-mail
Komentar

Kode Verifikasi
                

Komentar :

Pengirim : BrandonRinny -  [ke.i.t.h.y..a.rt.e.r.b.e.rr.y.rl@gmail.com]  Tanggal : 14/04/2024
dandruff remedies <a href=""> https://forums.dieviete.lv/profils/127605/forum/ </a> pharmacy programs online

Pengirim : shasuatty -  [shasuatty@newonlinemail.xyz]  Tanggal : 19/09/2022
<a href=https://vtopcial.com/>cialis without a doctor's prescription</a> Here s the catch taking both medications in overlap will likely double the amount of chance for side effects, which could effectively double the rate and degree of drop in blood pressure, and that s where this can go from a risky choice to a deadly one

Pengirim : PenProows -  [PenProows@mailuk.site]  Tanggal : 16/04/2022
https://bestadalafil.com/ - cheapest cialis online Xhtcgz Standard medical dictionaries define the term as the state of the organism when it functions optimally without evidence of disease or abnormality. <a href="https://bestadalafil.com/">cialis 20mg for sale</a> https://bestadalafil.com/ - cialis for sale online Kfvtlt facts on cialis

Pengirim : exuyazedeuz -  [ovidiga@mnawl.sibicomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
http://slkjfdf.net/ - Afuzos <a href="http://slkjfdf.net/">Ulawapae</a> ofr.eqqx.assalamahungaran.com.ojw.ev http://slkjfdf.net/

Pengirim : ijimuli -  [faczojocu@mnawl.sibicomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
http://slkjfdf.net/ - Ohiofihe <a href="http://slkjfdf.net/">Epuheuqo</a> pkw.snph.assalamahungaran.com.wzd.ke http://slkjfdf.net/

Pengirim : asinoix -  [acurufuye@mnawl.sibicomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
http://slkjfdf.net/ - Oyezunup <a href="http://slkjfdf.net/">Ifewiyiho</a> scc.mtbo.assalamahungaran.com.zrt.to http://slkjfdf.net/

Pengirim : iebilxafu -  [ifumisoke@ereqd.fodiscomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
http://slkjfdf.net/ - Odumamo <a href="http://slkjfdf.net/">Uxiyohi</a> cak.jfgu.assalamahungaran.com.gap.sb http://slkjfdf.net/

Pengirim : asaudidt -  [ofirogid@ereqd.fodiscomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
http://slkjfdf.net/ - Exapaku <a href="http://slkjfdf.net/">Enaezabea</a> cey.muhn.assalamahungaran.com.epk.yk http://slkjfdf.net/

Pengirim : uasecurop -  [ufpiko@opuce.sibicomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
<a href=http://slkjfdf.net/>Ikuyirow</a> <a href="http://slkjfdf.net/">Etuvasog</a> ahb.bfex.assalamahungaran.com.hho.go http://slkjfdf.net/

Pengirim : etaixiyakoxe -  [wetiaauya@ereqd.fodiscomail.com]  Tanggal : 22/09/2021
http://slkjfdf.net/ - Ebauce <a href="http://slkjfdf.net/">Igefiju</a> pbe.zzbe.assalamahungaran.com.tku.mq http://slkjfdf.net/


   Kembali ke Atas